Fajrul Hanif laksana fajar menyembul dari kaki horizon disambut nyanyian burung - burung yang rindu akan kelembutan cahaya pagi.
Laki - laki, perempuan, tua dan muda bagai terperangkap oleh pesona yang memancar dari kesederhanaan dan keshalehan pemuda itu.
Senyumnya yang khas menggambarkan rekahan kembang harapan dan pada kelopaknya melimpah madu penawar hati.
Dinul Haq adalah seorang lelaki pengembara yang telah letih menanti kebangkitan agama, kini kembali bersemangat ketika suatu hari ia berkenalan dengan pemuda bernama Fajrul Hanif itu. Pelita harapan yang mulai redup dan menyala lunglai dalam hati pengembara ini tiba - tiba menyeruakkan api gairah ketika Fajrul Hanif meneteskan minyak wangi dari kelopak senyumnya yang menawan. Cinta lantas menyala menghangati asa juangnya setelah sekian lama ia kecewa dengan ketaatan palsu dan kemunafikan yang bersembunyi di balik cadar kecerdasan manusia.
Cinta adalah karunia yang turun mengisi jiwa dengan daya tarik misterius. Harapan dan kecemasan adalah sepasang tangan para pecinta yang menadah impian hari esok. Sepasang tangan inilah yang tengah diulurkan Dinul Haq menyambut harapan yang mengembang dari senyuman Fajrul Hanif.
Tuhan telah menghiasi wajah cinta dengan dandanan beragam dan sekaligus menghiasi pelupuk mata dengan kabut tipis. Dengan mata bersaput kabut , manusia lantas membuat bangunan sekte di atas debu bumi lalu mereka bersaing berebut supremasi dan saling mengklaim bahwa kebenaran hanyalah milik sekte mereka. Dengan demikian " tuhan " menjadi sebuah benda unik yang diperebutkan oleh berbagai kelompok dan kelompok yang menang dari persaingan ini akan menaruh " tuhan " pada sebuah ruang khusus yang tidak boleh disentuh kelompok lain.
Diantara kelompok - kelompok yang selalu bersaing memperebutkan " tuhan " Dinul Haq bagai sebatangkara karena tidak berafiliasi pada kelompok manapun. Menurutnya , kebenaran dan kebaikan yang dilembagakan ibarat pelita yang ditutup dalam tabung kedap udara. Meskipun minyaknya berlimpah , tetapi apinya akan padam dan tidak memberi manfaat kecuali sepercik api yang memantul sia - sia pada dinding tabung .
Dinul Haq adalah murid kesunyian yang mempelajari kitab suci yang ditulis oleh Tuhan tanpa tinta dan kertas. Karena itu, ia memahami bahwa membatasi pengertian akan firman - Nya atas dasar nafsu keinsanan berarti membatasi ilmu-Nya, sedang Dia telah menjamin kemurnian dan ketinggian agama yang diturunkan-Nya yang dengan sendirinya, Dia sendiri yang memiliki otoritas terhadap makna firman-Nya. Dia mempersilahkan semua anak manusia, entah dengan prasangka baik ataupun prasangka buruk, untuk menguji dan membuktikan kemurnian dan ketinggian agama-Nya. Dengan jalan itulah manusia akan bisa sampai pada puncak kesucian tauhid. Dan Tuhan tidak menerima apapun dari manusia kecuali hasil perangnya. Perang melawan kebodohan ataupun kepintaran.
Tuhan telah menakdirkan Dinul Haq bertemu dan berkenalan dengan Fajrul Hanif disaat fajar cemelang baru saja memancar dari kesederhanaan dan keshalehan pemuda itu. Namun segugus kabut yang diarak pikiran manusia berpalun menghalangi fajar yang baru saja menyingsing sebelum seluruh semesta menyambut sinarnya. Lingkaran kabut yang berlapis-lapis meyakinkan Fajrul Hanif bahwa cahaya yang diturunkan Tuhan kepada manusia tidak boleh melintasi kabut itu. Barangsiapa yang berani mematangkan sinar di puncak semesta dianggap seorang pendosa.
Nun di seberang kabut, di tengah cakrawala yang lebih luas, dimana cahaya tak terhalang, Dinul Haq menanti saudara yang dikasihinya dengan cemas bercampur harapan semoga sang fajar segera bangkit menyingkap tirai yang ditenun dari kabut khayalan manusia.