Rabu, 17 Agustus 2016

WARTAWAN YANG PAHLAWAN

Jika saat ini kita bisa melihat foto Presiden Soekarno membacakan teks Proklamasi maka sudah patutnya kita berterima kasih pada sosok kakak beradik, Alex Mendur dan Frans Mendur. Berkat dua orang bersaudara itu, hingga saat ini saksi bisu hari paling penting untuk bangsa ini bisa kita lihat.
Padahal tak ada instruksi untuk keduanya mengambil foto saat teks Proklamasi dibacakan. Frans Mendur hanya tak sengaja mendengar kabar dari harian Asia Raya. Pun kakaknya, Alex Mendur yang berprofesi sebagai fotgrafer kantor berita Jepang waktu itu.
Keduanya langsung bergegas ke kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Cikini, Jakarta dengan membawa kamera masing-masing. Dengan mengendap-endap, Mendur bersaudara berhasil merapat di lokasi tepat pukul 05.00 pagi. Rupanya hanya mereka berdua, fotografer yang hadir di hari paling penting bagi bangsa Indonesia itu.
Alex dan Frans berhasil mengabadikan beberapa foto detik-detik proklamasi Indonesia. Namun usai upacara, mereka berdua disergap tentara Jepang. Alex ditangkap, kameranya disita, hasil fotonya dibakar. Sementara Frans berkilah, ia mengaku negatif filmnya telah dirampas Barisan Pelopor padahal telah dikubur dalam tanah. Tentara Jepang pun berhasil ia kelabuhi.
Setelah dirasa aman, keduanya lalu menggali tanah tempat negatif film dikubur. Tak menunggu lama, film itu kemudian dicetak. Butuh keberanian dan mental baja. Mendur bersaudara harus diam-diam menyelinap di malam hari, memanjat pohon, dan melompati pagar hingga akhirnya menemukan lab foto. Sebab jika tertangkap Jepang, bukan tak mungkin Mendur bersaudara dihukum mati. Tanpa foto karya Frans Mendur, maka proklamasi Indonesia tak akan terdokumentasikan dalam bentuk foto.
Mendur bersaudara lahir di Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Alex Mendur lahir pada 1907, sementara adiknya Frans Mendur lahir tahun 1913. Kala itu nama Mendur bersaudara sudah terkenal di mana-mana. Keberadaan mereka diperhitungkan media-media asing.
Untuk mengenang aksi heroik Mendur bersaudara, keluarga besar Mendur mendirikan sebuah monumen yang disebut "Tugu Pers Mendur". Tugu ini berupa patung Alex dan Frans serta bangunan rumah adat Minahasa berbentuk panggung berbahan kayu.
Tugu Pers Mendur didirikan di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, di tanah kelahiran mereka. Di dalam rumah itu terdapat 113 foto karya Mendur bersaudara yang diresmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Februari 2013.

INSPIRASI DARI BAWAH POHON SUKUN


Tiga hari sudah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berlangsung. Tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh kepulauan di Indonesia masih kukuh pada pendirian masing-masing tentang prinsip dasar dari Indonesia Merdeka.

Satu kelompok menginginkan membentuk negara Indonesia berdasarkan Islam, sementara kelompok lainnya menginginkan wilayah negara yang luas. Ada juga kelompok yang berpandangan Indonesia belum matang untuk memerintah diri sendiri.

Sukarno yang memilih tokoh-tokoh itu untuk mengikuti sidang BPUPKI di Gedung Volksraad Jalan Pejambon, Jakarta, duduk di tengah-tengah sidang mendengarkan segala keributan dan membiarkan kelompok-kelompok itu mengeluarkan pendapatnya.

"Bulu kudukku berdiri ketika mendengarkan setiap orang menguraikan rencana yang mencakup hal-hal paling kecil. Mereka terlalu banyak biacara 'seandainya' dan menduga-duga," ucap Sukarno menggambarkan suasana sidang dalam bukunya Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Sukarno gemas sekaligus khawatir dengan percekcokan yang tak ada ujung itu. Ia khawatir kondisi ini akan membuat kemerdekaan Indonesia malah tidak akan pernah terwujud. 

Dalam benaknya, muncul kembali prinsip-prinsip dasar negara yang pernah dipikirkannya sejak 16 tahun sebelumnya, saat ia mendekam di gelapnya Penjara Banceuy, Bandung.

Ia juga teringat buah pikirannya saat diasingkan di Pulau Flores, NTT. Di pulau yang sepi dan tanpa kawan itu, Sukarno duduk di bawah pohon sukun di depan rumahnya, dan menghabiskan waktu berjam-jam di tempat itu merenungkan ilham yang diturunkan Tuhan kepadanya tentang dasar negara yang tepat untuk Indonesia merdeka.

Bagi Sukarno, dasar negara yang tepat bagi Indonesia adalah prinsip-prinsip yang berasal dari tradisi Indonesia, bukan pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika ataupun pada Manifesto Komunis. Juga bukan dari pandangan hidup bangsa lain.

Maka Sukarno pun bersiap menyampaikan buah pikirannya ini pada sidang keesokan harinya, 1 Juni 1945. Namun pada malam harinya, dia menyepi. Sukarno keluar rumah dan menatap bintang-bintang di langit.

Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams, Sukarno mengaku begitu kagum melihat ciptaan Tuhan itu. Bersama rasa kagumnya ia meratap dalam hati, "Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya Engkaulah yang Maha Pencipta, Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap napas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku."

Pukul 09.00 pagi, sidang BPUPKI dibuka kembali pada 1 Juni 1945. Sukarno melangkah ke podium marmer yang letaknya lebih tinggi. Tanpa memegang naskah pidato, Sukarno mengupas lima prinsip, yang disebutnya lima mutiara berharga, yakni Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di pengujung pidatonya Sukarno berkata, "Marilah kita menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi biarkan masing-masing orang Indonesia bertuhan Tuhannya sendiri..."

Sukarno pun kemudian menyebut lima mutiara berharga itu sebagai Pancasila. Lima prinsip yang menjadi dasar negara, seperti Rukun Islam yang juga lima, jari di satu tangan yang juga lima, dan pahlawan Mahabarata yang juga berjumlah lima orang.

Mendengar pidato ini, serentak semua anggota BPUPKI dari pihak Indonesia bertepuk tangan bergemuruh. Mereka berdiri dari kursi masing-masing dan menerima falsafah negara Pancasila yang disodorkan Sukarno secara aklamasi.