Sabtu, 20 Agustus 2016

SEKAPUR SIRIH SELINTING TEMBAKAU

Bagi anda yang gemar membaca buku pasti pernah melihat pada halaman - halaman awal sebuah buku ada tertulis dalam bentuk judul, SEKAPUR SIRIH. Istilah ini diadopsi dari tradisi nusantara yang khususnya dipraktekkan oleh suku - suku Bugis dan Melayu sejak berabad - abad yang lalu.
Dimasa lalu suku-suku Bugis dan Melayu sangat kental dengan tradisi " Mangngota" yaitu mengunyah kapur sirih ( sering ditambahkan pinang) tanpa menelannya. Hal seperti ini sampai sekarang masih dilakukan oleh hampir semua suku- suku di Papua. Tradisi ini dipercaya untuk menguatkan gigi dan membersihkan gusi dan rongga mulut dari berbagai macam kuman.
Lepas dari manfaat yang dipercayai dalam tradisi mengunyah kapur sirih + pinang, saya secara khusus akan menyoroti tradisi ini dalam fungsinya sebagai perekat hubungan antar individu dalam masyarakat dan simbol penghormatan dalam interaksi sosial.
Tradisi ini memiliki posisi ekslusif khususnya bagi masyarakat suku Melayau dan Bugis di masa lalu sehingga hampir semua bentuk interaksi sosial dianggap "Tidak Sahih" tanpa adanya sekapur sirih terlebih untuk acara - acara penting atau sakral semisal perkawinan, acara - acara adat, musyawarah warga bahkan untuk memulai perang atau pertarungan mempertaruhkan harga diri.
Tradisi yang dianggap wajib ini mengandung nilai - nilai kearifan lokal yang fungsinya semacam "Tuma'ninah" yang disyaratkan diantara setiap sikap/posisi dalam shalat.
Memulai sebuah urusan yang terkait dengan orang lain, bahkan musuh sekalipun, adalah wajib menghormatinya dengan mendahulukan menawarkan pinang sirih sebelum memulai urusan yang menjadi tujuan utama. Pada saat mengunyah pinang sirih inilah digunakan untuk menjernihkan hati dan pikiran agar apapun yang menjadi akhir dari urusan nanti hendaknya menjadi pilihan yang benar-benar disadari dan dipertanggung jawabkan.
Seiring zaman, tradisi "Mangngota" tergantikan dengan tradisi "Merokok" dengan tembakau lintingan yang tetap mengacu pada fungsi sosial yang sama.
Ini adalah tradisi yang tumbuh di tengah - tengah masyarakat sebagai perekat hubungan sosial yang terbukti efektif untuk tujuan yang dimaksud.
Sampai sekarang masih ditemukan tradisi membawa rokok dengan wadah baki ( bossara') sebagai "Surat Undangan" kepada para pamong, tokoh-tokoh masyarakat atau kerabat yang dituakan ketika kedatangan mereka diperlukan untuk hadir di pesta - pesta rakyat. Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan dan simbol kedekatan hubungan sosial. Dalam hal ini, bentuk undangan lain akan dianggap sebagai sebuah pelecehan dan sikap tidak hormat yang sekaligus akan menjadi aib bagi pihak pengundang.
Di tengah pergaulan masyarakat umum, rokok menjadi " Benda Keramat" yang memiliki keampuhan menjembatani sebuah hubungan sosial dan memiliki keajaiban untuk menyingkirkan keraguan dan sikap grogi untuk memulai sebuah perkenalan dengan orang asing. Rokok selalu ditawarkan bahkan meski kepada seseorang yang bukan perokok. Karena pada dasarnya ini hanya semacam ritual  penawaran dan sikap membuka diri bagi orang lain.
Selain itu, tradisi merokok ini juga menjembatani usaha untuk saling berbagi rezeki tanpa menimbulkan ketersinggungan pada pihak penerima.Dalam tradisi masyarakat khususnya bagi suku Melayu dan Bugis menerima sesuatu dalam bentuk belas kasihan dianggap menciderai harga diri seseorang. Dan hal itu akan menyakitkan. Di sinilah tradisi merokok menjadi penengah. Biasanya pihak pemberi akan menggunakan kalimat, " Sekedar pembeli rokok." Ini hanya sebuah kalimat sederhana tetapi sanggup menyelamatkan hati seseorang dari ketersinggungan dan luka harga diri.
Gencarnya kampanye anti rokok dengan dukungan berbagai regulasi belakangan ini menimbulkan perubahan paradigma dan mulai mengubur tradisi merokok.
Mungkin benar bahwa tradisi merokok tidaklah menyehatkan. Tetapi bukankah semua hal di dunia ini memiliki sisi gelap dan terang ? Bukankah setiap orang waras memiliki sisi kegilaan ?  Bahkan jika seseorang benar - benar sehat, maka " Cukuplah sehatmu itu sebagai sakitmu" , demikian dikatakan Muhammad al-Musthafa sang kekasih Tuhan.

KENAPA JIKA BERBEDA

Di kelasnya ada 25 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23.
Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar, namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.
Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing.
Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orangpun bertepuk tangan.
Anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya.
Didesak orang banyak, akhirnya dia menjawab:

"Saat aku dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main".

Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua. Diapun menjawab :

“Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”.

Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak hanya menjadi seorang guru TK?
Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat origami, tidak lagi banyak bermain.
Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti.
Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. Akan tetapi hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23.
Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.
Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama. Semua orang membawa serta keluarga mereka.
Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya.
Anak kami tidak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan.
Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang meluap ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.
Ketika makan, ada satu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue.
Tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Para orang tua membujuk mereka, namun tak berhasil.
Terakhir anak kamilah yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.
Ketika pulang, jalanan macet. Anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti.
Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan.
Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing. Mereka terlihat begitu gembira.
Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah anakku tetap 23.
Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi. Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu :

" Siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan apa alasannya ?"
Semua teman sekelasnya menuliskan nama : " Anakku "

Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang, selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak berteman, dan banyak lagi.
Si wali kelas memberi pujian: “Anak ibu ini kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.
Saya bercanda pada anakku, “Suatu saat kamu akan jadi pahlawan”.
Anakku yang sedang merajut selendang leher tiba-tiba menjawab :
“Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”
.
" Ibu,  aku tidak mau jadi pahlawan.  Aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di pinggir jalan "
Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun terasa hangat seketika. Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku.
Di dunia ini banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan. Namun Anakku memilih untuk menjadi orang yang tidak terlihat. Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi ialah yang mengokohkan.
Jika ia bisa sehat, jika ia bisa hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hatinya,  ____ mengapa anak - anak kita tidak boleh menjadi orang biasa yang berhati baik dan jujur ?