Minggu, 25 September 2016

PERUSAHAAN PERS


Sejak diberlakukannya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”), pendirian usaha pers tidak lagi mensyaratkan adanya Surat Izin Usaha Pendirian Pers ( SIUPP )


Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Pers, pengertian dari Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.

Lebih jauh dalam Pasal 1 angka 2 UU Pers disebutkan pengertian dari Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi.

Ketentuan bahwa perusahaan pers harus berbentuk badan hukum ini ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Pers bahwa setiap Perusahaan Pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sayangnya dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 UU Pers maupun dalam penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Pers, tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum apa seperti apa yang harus dipilih.

Contoh bentuk badan hukum di Indonesia antara lain adalah Perseroan Terbatas (PT), Yayasan,dan Koperasi. Belum ada ketentuan yang secara spesifik mensyaratkan Perusahaan Pers untuk memiliki bentuk badan hukum tertentu. Agar Anda memilih bentuk badan hukum yang tepat, maka perlu diketahui karakteristik usaha dari tiap badan hukum yang lebih jauh bisa Saudara simak di artikel Jenis-Jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya.

Pada prinsipnya badan hukum PT didirikan untuk mencari keuntungan, badan hukum yayasan didirikan bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, sedangkan badan hukum Koperasi didirikan untuk memajukan kesejahteraan para anggotanya.

Untuk pendirian PTdiatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk pendirian Yayasan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Sedangkan untuk pendirian Koperasi diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Pada ranah praktik perusahaan pers lebih banyak memilih bentuk badan hukum PT. Perizinan yang diperlukan bagi beroperasinya suatu PT antara lain adalah:
1.    Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM;
2.    Surat Domisili;
3.    NPWP;
4.    SIUP;
5.    TDP;
6.    Izin-izin teknis lainnya dari departmen teknis terkait. 

Sepanjang penelusuran, perusahaan pers tidak memerlukan izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atau dari Dewan Pers.Karena perusahaan pers disyaratkan berbentuk badan hukum, maka perizinan yang diperlukan adalah perizinan sesuai dengan badan hukum yang dibentuk.

Untuk perusahaan pers, yang lebih perlu diperhatikan adalah mengenai aspek pemberitaan sebagai bagian dari kegiatan jurnalistik. Sesuai Pasal 12 UU Pers Perusahaan Pers diwajibkan untuk mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Dari segi pemberitaan, media online sebagai alat jurnalistik harus tunduk dan taat pada Kode Etik jurnalistik dan berpegang pada Pedoman Pemberitaan Media Siber. Selain itu, Dewan Pers menetapkan bahwa perusahaan pers tersebut juga harus mengacu pada Standar Perusahaan Pers dan Standar Organisasi Perusahaan Pers.

Jadi, untuk perusahaan pers atau media online Saudara bisa diakui secara hukum, dalam pendiriannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada yakni salah satunya adalah harus berbentuk badan hukum.Lebih jauh lagi, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistiknya, media online harus tetap mengacu pada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, serta pedoman-pedoman yang telah ditetapkan Dewan Pers, sebagai lembaga pengawas jurnalistik sebagaimana telah diuraikan di atas.

Jumat, 23 September 2016

MIMPI DAN PARA PEMIMPI


Salah satu fenomena yang acapkali terjadi di dalam negara yang menganut sistem demokrasi, adalah terjadinya benturan - benturan sosial yang menggunakan atribut agama, etnis maupun strata sosial lainnya.
Meski jelas bahwa sebenarnya cara - cara seperti ini adalah wujud dari sikap menipu diri sendiri. Karena di satu sisi kita menerima sistem demokrasi , tetapi disisi lain kita menolaknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu perwujudan demokrasi, misalnya dalam pemilihan pemimpin, entah itu pemimpin negara atau pemimpin daerah - daerah pada semua jenjang pemerintahan dalam negara demokrasi, issu - issu etnik, agama, sekte dan lain - lain menjadi sesuatu yang sangat ditonjolkan untuk meraih dukungan politik dan juga untuk menjegal atau menjatuhkan lawan politik. Hal - hal seperti ini mungkin wajar dalam kehidupan berbangsa yang multikultur. Tetapi masalahnya adalah, kenapa sistem demokrasi kita terima kalau pada hakekatnya kita tidak memerlukannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tetapi saya ingin mengatakan, bahwa terlepas dari sistem pemerintahan apapun yang dianut oleh sebuah negara, terkait seorang pemimpin..., maka rakyat hanya akan mendapatkan pemimpin sesuai yang pantas mereka dapatkan. Maksud saya adalah, bahwa diingkari atau ditaati, Tuhan tidak pernah beristirahat dan mengabaikan sezarrahpun persoalan ummat tanpa memberikan ganjaran seadil - adilnya. Artinya adalah : bahwa Tuhan tidak akan memberikan kita empedu, jika madu yang behak kita dapatkan.
Yang ingin saya katakan adalah bahwa pemimpin yang akan didapatkan oleh sebuah kaum, sebuah masyarakat dalam sebuah negara, apapun sistem pemerintahan yang dianut, mereka tidak akan mendapatkan pemimpin diluar dari apa yang berhak mereka dapatkan. Artinya bahwa meskipun tampaknya bahwa masyarakat sebuah negara tampak hidup religius, tetapi jika pada hakekatnya mereka melakukan tindakan - tindakan kekufuran dalam berbagai dimensi kehidupan, maka tentu orang kafirlah yang akan dikirim Tuhan sebagai pemimpin bagi masyarakat tersebut ___ meski bisa jadi pemimpin itu dipercaya masyarakat sebagai orang suci dan taat beragama.
Karena itu, bagi saya, sungguh tidak elok menggunakan istilah - istilah atas nama agama, etnis, ras atau issu apapun yang bersifat menonjolkan komunitas, atau sekte dan merendahkan komunitas atau sekte yang dianggap rival politik. Pepatah mengatakan, " Jika tidak bisa membicarakan kebaikan orang lain, janganlah yang buruk engkau katakan."

Selasa, 20 September 2016

PINISI YANG LEGENDARIS


Sumber - sumber lokal, khususnya dari daerah Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa embrio perahu pinisi sudah ada sekitar abad ke - 12 Masehi. Namun perahu yang ada pada masa itu disebut Padewakang. Orang yang pertama membuatnya adalah putera mahkota kerajaan Luwu yang bernama Sawerigading. Tokoh ini merupakan tokoh legendaris yang ada dalam Lontarak I babad La Galigo. Dalam babad tersebut diceritakan bahwa suatu hari, ketika Sawerigading pulang dari pengembaraannya, ia melihat saudara kembarnya, We Tenri Abeng dan jatuh hati kepadanya. Tentu saja hal ini membuat marah ayahnya (Raja Luwu). Untuk menghibur hati Sawerigading, We Tenri Abeng menyuruhnya untuk pergi ke negeri Tiongkok, karena di sana konon ada seorang puteri yang wajahnya mirip dengannya. Puteri Tiongkok tersebut bernama We Cudai. Namun, untuk dapat pergi ke sana diperlukan perahu yang tangguh dan kuat. Sementara, Sawerigading tidak memilikinya. Padahal, untuk membuatnya diperlukan kayu yang berasal dari pohon welengreng atau pohon dewata yang adanya di daerah Mangkutu. Celakanya, pohon tersebut dianggap keramat, sehingga tidak ada orang yang berani menebangnya. Untuk itu, diadakanlah upacara besar-besaran yang bertujuan agar penunggu pohon bersedia pindah ke tempat atau pohon lain. Upacara tersebut dipimpin langsung oleh neneknya yang benama La Toge Langi (Batara Guru). Konon, setelah pohon welengreng tumbang, pembuatan perahu dibantu oleh neneknya dan dilakukan secara magis di dalam perut bumi. Ketika perahu sudah jadi, Sawerigading pun berangkat ke negeri Tiongkok. Ia bersumpah tidak akan kembali ke Luwu.

Singkat ceritera, Sawerigading berhasil mempersunting Puteri We Cundai dan tinggal di negeri Tiongkok. Setelah lama di sana, ia rindu pada tanah kelahirannya. Dan, suatu hari ia berlayar menuju Luwu. Namun, ketika perahu hendak berlabuh di pantai Luwu, tiba-tiba ada gelombang besar yang menghantamnya, sehingga pecah. Kepingan-kepingannya terdampar di beberapa tempat. Sebagian badannya terdampar di pantai Ara, tali temali dan layar perahu terdampar di daerah Tanjung Bira, dan lunas perahu terdampar di daerah Lemo-Lemo. Dan, oleh orang-orang yang tinggal di ketiga daerah tersebut, kepingan-kepingan tadi disusun kembali, sehingga ada kepercayaan bahwa nenek moyang merekalah yang merekonstruksi perahu milik Sawewigading . Hasil rekonstruksi inilah yang kemudian dikenal sebagai pinisi. Demikianlah, sehingga keturunannya mewarisi keahlian-keahlian tertentu dalam pembuatan, bahkan mengemudi pinisi. Dalam konteks ini, orang Ara ahli dalam membuat tubuh dan bentuk perahu; orang Lemo-lemo ahli dalam finishing perahu; dan orang Tanjung Bira ahli mengemudi perahu (nahkoda dan awal perahu). Kekhasan-kekhasan itulah yang kemudian memunculkan ungkapan yang berbunyi:”Panre patangan’na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo Lemoa”, artinya “ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan papan) dari Ara, dan ahli menghaluskan dari Tana Lemo”. Berdasarkan ungkapan itu, maka banyak orang yang meyakini, khususnya orang Bugis-Makassar, bahwa perahu pinisi yang bagus (sempurna) adalah pinisi yang dibuat oleh orang Ara dan Tana Lemo.

Proses Pembuatan Pinisi

Pembuatan pinisi dilakukan di sebuah galangan kapal sederhana yang disebut sebagai bantilang, dengan teknik ruling (Teknik yang oleh orang Bugis, khususnya warga Tana Beru disebut ruling ini sebenarnya merupakan suatu peraturan mengenai cara membuat perahu yang telah dibukukan dalam buku “Jaya Langkara”. Konon, buku tersebut dipinjam oleh seseorang yang berkebangsaan Belanda dan hingga kini belum dikembalikan. Ruling sebenarnya tidak hanya menjelaskan mengenai cara membuat perahu, tetapi juga pemilihan bahan dan peluncurannya ke laut lepas).

Orang yang sangat berperan dalam pembuatan pinisi adalah punggawa (kepala tukang atau tukang ahli). Ia dibantu oleh para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi. Selain itu, dibantu juga oleh tenaga-tenaga yang lain, sehingga secara keseluruhan melibatkan puluhan orang. Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan pinisi dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam pembuatan sebuah perahu yang oleh orang Bugis disebut pinisi.

Pencarian dan Penebangan Pohon

Pohon yang dicari adalah welengreng atau dewata karena kedua jenis pohon tersebut disamping kuat, juga tahan air. Pencariannya pun tidak dilakukan pada sembarang hari, tetapi pada hari-hari tertentu, yaitu hari kelima dan ketujuh pada bulan dimulainya pembuatan perahu. Ini ada kaitannya dengan kepercayaan bahwa angka 5 (naparilimai dalle’na) oleh orang Tana Beru dianggap sebagai angka yang baik karena mempunyai arti “rezeki sudah di tangan”. Sedangkan, angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti “selalu mendapat rezeki”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan ditemukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan karena jenis pohon itu dipercayai ada “penunggunya”. Dalam upacara ini, yang dijadikan sebagai korban adalah seekor ayam. Tujuannya adalah agar penunggu pohon tersebut tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Dengan perkataan lain, penebangan dapat berjalan lancar dan selamat. Pohon yang telah ditebang itu kemudian dibawa ke bantilang.

Pengeringan dan Pemotongan Kayu

Sebelum pohon (kayu) dipotong-potong sesuai dengan keinginan, ketika peletakan balok lunas, ada semacam ritual. Dalam konteks ini, balok lunas diletakkan di bawah kayu yang akan dijadikan bahan pembuatan pinisi dan salah satu ujungnya diarahkan (dihadapkan) ke Timur Laut. Ujung balok lunas yang mengarah ke Timur Laut ini merupakan simbol laki-laki. Sedangkan, ujung yang satu lagi yang arahnya berlawanan merupakan simbol perempuan. Sebelum dipotong-potong sesuai dengan keinginan, maka bahan (kayu-kayu) tersebut dikeringkan. Kemudian, kayu yang akan dipotong ditandai dengan pahatan disertai pembacaan doa dengan tujuan agar kayu tersebut dapat berfungsi dengan baik ketika telah menjadi perahu.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemotongan adalah mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu. Selain itu, pemotongan harus sampai selesai (tidak boleh berhenti sebelum kayu terpotong). Dengan cara seperti itu kekuatan kayu tetap terjamin. Sebagai catatan, pemotongan kayu dimulai pada bagian ujung-ujungnya. Salah satu potongan ujungnya dibuang ke laut sebagai penolak bala dan sekaligus sebagai simbol peran laki-laki (suami) yang mencari nafkah di laut. Sedangkan, ujung yang satunya disimpan di rumah sebagai simbol peran perempuan (isteri) yang menunggu suami pulang.

Perakitan
Setelah lunas terbentuk dan dihaluskan, maka langkah berikutnya adalah pemasangan papan pengapit lunas (soting). Pemasangan ini disertai dengan suatu upacara yang disebut kalebiseang. Kemudian disusul dengan pemasangan papan yang ukurannya berbeda-beda (dari bawah ke atas). Papan yang kecil ada di bagian bawah, sedang papan yang besar ada di bagian atas. Keseluruhannya berjumlah 126 buah. Sebagai catatan, sebelum pemasangan dilakukan, ada upacara yang disebut anjerreki, yaitu upacara yang bertujuan untuk memperkuat lunas. Setelah papan tersusun, pekerjaan diteruskan dengan pemasangan buritan dan tempat kemudi bagian bawah. Selanjutnya, badan perahu yang telah terbentuk tetapi masih belum sempurna karena masih banyak sela-selanya, khususnya antarpapan yang satu dengan lainnya, maka sela-sela tersebut perlu ditutup dengan majun. Pekerjaan ini, oleh masyarakat setempat disebut sebagai “a’panisi”. Kemudian, agar sambungan antar papan dapat merekat dengan kuat, maka sambungan-sambungan tersebut diberi perekat yang terbuat dari sejenis kulit pohon barruk.

Setelah papan merekat kuat, pekerjaan selanjutnya adalah “allepa” atau mendempul. Bahannya adalah campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk oleh sedikitnya enam orang selama sekitar 12 jam. Banyaknya dempul yang diperlukan bergantung dari besar-kecilnya perahu yang dibuat. Untuk perahu yang bobotnya mencapai 100 ton, maka dempul yang diperlukan sekitar 20 kilogram. Selanjutnya, badan perahu yang telah dilapisi dengan dempul itu dihaluskan dengan kulit buah pepaya.

Penggunaan bahan-bahan sebagaimana disebut di atas (kulit pohon barruk dan kulit buah pepaya), ada kaitannya dengan mitos penciptaan pinisi yang menggunakan kekuatan magis. Mengacu kepada mitos itu, orang-orang di Tana Beru merasa bahwa komunitas mereka sebagai mikrokosmos, yaitu bagian dari jagad raya (makrokosmos). Hubungan antara kedua kosmos ini diatur oleh tata tertib abadi, sakral, dan telah dilembagakan oleh nenek moyang mereka sebagai adat istiadat. Kedua kosmos ini dijaga harmoninya, sehingga ada kecenderungan mempertahankan yang lama dan menolak atau mencurigai yang baru. Inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa mereka tidak begitu terpengaruh dengan teknologi modern.

Pandangan di atas juga berpengaruh pada aktivitas di galangan perahu (bantilang), yang prosesnya diibaratkan bayi dalam kandungan. Hal ini terlihat, misalnya, dalam upacara pemotongan lunas perahu (anatra kalebeseang). Pemotongan dan penyambungan balok-balok yang melambangkan perkawinan (persetubuhan) antara jantan dan betina sebagai “janin perahu”, kemudian menjadi “bayi perahu”. Selain itu, ada juga upacara pemberian pusat perahu (pamossi) yang melambangkan saat kelahiran (bayi) perahu ke laut lepas, seperti kelahiran manusia ke dunia dari kandungan ibunya. Dalam hal ini punggawa berperan sebagai ibu dan sekaligus sebagai “bidan”.

Sesuai dengan pandangan kosmos mereka, segala sesuatu dilihat dari segi totalitas yang berkaitan secara organik, sehingga pelanggaran terhadap “sebuah pantangan” akan berakibat fatal kepada keseluruhan (bayi) perahu yang akan dilahirkan. Pantangan terberat adalah apabila pihak sombali menyakiti hati punggawa. Kalau hal ini terjadi, perahu yang telah dibuat “tidak mau bergerak” ketika didorong ke laut. Ini disebabkan punggawa (sebagai ibu) tidak rela apabila “bayi” perahunya diserahkan kepada orang yang telah menyakiti hatinya. Oleh sebab itu, sombalu yang arif akan segera menghubungi sang punggawa untuk melakukan “perdamaian”. Apabila perahu diluncurkan secara paksa, perahu tersebut akan cacat sesudah sampai di laut. Jadi, ketangguhan perahu di laut bukan saja karena faktor teknis, tetapi juga karena faktor magis (gaib).

Pemasangan Tiang Layar

Setelah badan dan kerangka perahu selesai, maka pekerjaan selanjutnya adalah memasang tiang dan layar. Perahu pinisi biasanya menggunakan dua layar besar yang disebut sombala. Layar yang satu terpasang di bagian depan. Layar ini berukuran sekitar 200 meter persegi. Sedangkan, layar yang lainnya terletak lebih ke belakang dengan ukuran sekitar 125 meter persegi. Di atas setiap layar besar itu terdapat sebuah layar berbentuk segi tiga yang disebut tanpasere. Selain layar utama, pada bagian haluan dilengkapi tiga layar pembantu yang juga berbentuk segi tiga. Layar ini masing-masing disebut cocoro pantara (di bagian depan), cocoro tangnga (di tengah), dan tarengke (di bekalangnya). Sebagai catatan, pemasangan layar baru dilakukan setelah perahu sudah mengapung di laut.

Peluncuran Pinisi

Sebelum penisi diluncurkan ke laut, ada upacara yang dipimpin oleh punggawa. Jika pinisi yang akan diluncurkan bobotnya kurang dari 100 ton, maka binatang yang dijadikan korban adalah seekor kambing. Akan tetapi, jika bobotnya lebih dari 100 ton, maka yang dijadikan korban adalah seekor sapi. Adapun doa yang diucapkan sebagai berikut: “Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu).

Setelah upacara selesai, perahu ditarik oleh para sahi dan calon sahi menuju ke laut.

Peluncuran biasanya dilakukan pada saat air laut sedang pasang (tengah hari). Lamanya bisa berhari-hari (biasanya sampai 3 hari). Pemasangan layar dilakukan ketika perahu sudah mengapung di laut. Dan, dengan mengapungnya perahu di laut dan terpasangnya layar, maka punggawa dan para sahinya yang selama sekitar enam bulan membuatnya, berakhir. Sebagai catatan, setiap perahu pinisi mempunyai nama tersendiri, seperti: Pajjala, Banggo, dan Sadek.

Nilai Budaya

Pinisi, sebagai salah satu identitas Orang Bugis, jika dicermati secara saksama, khususnya dalam proses pembuatannya, mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu, antara lain: kerjasama, kerja keras, ketelitian, keindahan, dan religius.

Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan antara punggawa (kepala tukang atau tukang ahli), para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi serta tenaga-tenaga yang lainnya. Masing-masing mempunyai tugas tersendiri. Tanpa kerjasama yang baik antar mereka, perahu tidak dapat terwujud dengan baik. Bahkan, bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah terwujud.

Nilai kerja keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu welengreng atau dewata yang tidak mudah karena tidak setiap tempat ada. Penebangannya pun juga diperlukan kerja keras karena masih menggunakan peralatan tradisional (bukan gergaji mesin). Nilai ini juga tercermin dalam pemotongannya yang tidak boleh berhenti sebelum selesai (terpotong) dan pemasangan atau perakitannya yang membutuhkan kerja keras. Selain itu, nilai ini juga tercermin dalam pendempulan dan peluncuran karena untuk memindahkan perahu dari galangan bukan merupakan hal yang mudah atau ringan, tetapi diperlukan kerja keras yang membutuhkan waktu beberapa hari (sekitar 3 hari atau lebih).

Nilai ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu). Nilai keindahan dari bentuknya yang bentuknya yang sedemikian rupa, sehingga tampak kuat, gagah, dan indah.

Nilai religius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan upacara agar “penunggunya” tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin dalam doa ketika perahu akan diluncurkan ke laut (“Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako lukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir”) (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Lukmanul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu)

SASTRA BUGIS ASSIMELLERENG


Siduppaka' nacabbiruu
Iyami napuada
Sappaako laingngE

Kuberpapasan, ia tersenyum
Tiada lain ia katakan
Carilah yang lain

PEkkona' sappaa laingngE
Engkagaro duwanna
AnrEna matakku

Bagaimana mungkin kucari yang lain
Adakah duanya
Yang memikat mataku

PolEna' palElE winru
Tenre' kutuju mata
Padammu silise'

Kutelah mencari kemana-mana
Namun tiada jua kudapatkan
Yang menyamai dirimu

MabEla mu risompeeri
Apa' ri pauwwangnga'
Balala padammu

Namun jauh kau kudatangi
Sebab telah kudiberitahu
Jarang  tandinganmu

Mauwa' sompe' ri Jawa
Sappaa'i senrapammu
Tenre' kulolongeng

Walaupun kumerantau hingga di Jawa
Mencari yang sepadan dirimu
Namun tiada kudapati jua

PolEna' palElE cinna
Sappaa'i sippadammu
Tenre'sa padammu

Kutelah mencoba mengalihkan harapan
Mencari seseorang yang kiranya menyamaimu
Namun tiada jua yang sama denganmu

SEnge' lalowa' ri mula wenni
kubali sEnge' tokko
Ri giling tinroku

Kenanglah daku diawal malam
Agar dikau kukenang pula
Dikala kumenggeliat dalam tidurku

SEnge'ka simata jarung
Kubali sEnge' tokki'
Sipuppureng lino

Kenanglah daku walau sebesar lubang jarum
Agar dikau kukenang pula
Hingga seumur dunia

KEgako lEwuu mangkangngulu
Matto'dang makkalilii'
Uwitao tinro

Dimana gerangan kau berbantal dalam baringmu
Membujur dalam geliatmu
Dikau kulihat dalam tidurku

Mannippia' ri wenniE
Manessa iko mua
Uwakkang matinro

Kubermimpi di malam hari
Jelas dikaulah jua
Kupangku dalam tidurku

Matinroku mannippikku
Iyami kuponippi
Ikomi kuwita

Saat kuterlelap, pastilah kubermimpi
Tiada lain yang hadir dalam mimpiku
Engkaulah yang kulihat

Upappadako cammingngE
Utimpa' baja-baja
Tekkubokorimmu

kau bagaikan cermin bagiku
Kuhadapkan wajahku dipermukaanmu tiap waktu
Takkan mungkin kumembelakangimu

Sangadi matE watangnga'
Mareppa' bulo-bulo
Kupaja massEnge'

Kecuali andai kumati terpaksa
Pecah bagai buluh
Maka usailah rinduku

Sangadi duai mEnrE'
Matanna tikkaa'EdE
Usala pangolo

Kecuali jika terbitlah dua
Sang matahari
Barulah mungkin aku keliru berpaling

MatEka' ala duwaE
Kutaro ri babuwa
Tenna iko mua

Aku mati andai ada duanya
Kusimpan dalam perutku
pastilah dikau jua

Akkitako ri kEtengngEdE
Alilii alibunna
Atikku ri lalengna

Pandanglah ke bulan diatas sana
Perhatikan lingkaran bulatnya
Hatiku ada didalamnya

Ana' uleng muita
Macoora puppuu benni
Padai nyawaku'

Lihatlah bintang
Berkilauan sepanjang malam
Seperti itulah jiwaku

Akkitako ri salo'E
Maccolo' baja-baja
Atikku ri lalengna

Pandanglah sungai
Airnya mengalir sepanjang waktu
Seperti itulah hatiku

Maggulilingna' palElE winru
Naikomua utuju
Nawa-nawakku

Dari segala penjuru kumencoba mengalihkan kasih
Namun dikau jua
Yang ada dalam benakku

Dua tellu kerraiko
Inge'mu na matammu
Taro simpolongmu

dua tiga hal membuatmu mempesona
Hidung dan matamu
Serta model sanggulmu

Iyasia minasakku
Alebbongpa malai
Assimellerengta

Tiada lain harapanku
Semoga liang lahadlah yang memisahkan
Cinta kasih kita

PEsona temma'gangkaku
Iyapa nakkEwiring
Kame'pi linoE

Keyakinanku tak terbatas
Nantilah kiranya berakhir
Jika dunia kiamat adanya

UpomEnasai sia
Silise' kasa renni'
Pawalung tadua

Kuberharap
Secarik kain kasa
Menjadi kain kafan kita berdua

UpomEnasai sia
Sitonra-tonra jari
LEtE ri Manipi

Kuberharap
Kita bergandeng tangan
Meniti akhirat

IkoarE idi' arE
LEtE ri Manipi 
Sitajengngi ri majEE'

Engkau atau aku
Lebih dulu menuju akhirat
Kita saling menunggu di surga

Ri majEE'pi mabbiccara
Ri TualenrEng pasi
Tomappasilolongeng

Di alam kuburlah nanti kita saling menyapa
Nantilah lagi di perbatasan negeri akhirat
Kita kan saling berkisah

Tessitajenggi' ri MajEE'
Kuwapi ri Manipii'
Sita baja-baja

Andai kita tak saling menunggu di alam kubur
Nantilah setelah di negeri akhirat
Kita dipertemukan selamanya

SEKILAS SEJARAH SINJAI

Kabupaten Sinjai berdasarkan penelusuran sejarah, dimulai dari pemukiman pertama di Wawo Bulu Manipi Kecamatan Sinjai Barat di sebelah timur Malino dipimpin oleh orang yang digelar Puatta Timpae’ Tana atau To Pasaja yaitu Arung Manurung Tanralili.
Keturunan Arung Tanralili, salah seorang diantaranya adalah wanita yang kemudian puteri Tanralili inilah yang mengembangkan wilayah Wawo Bulumenjadi Kerajaan Turungeng.
Raja wanita tersebut diperisterikan oleh putera Raja Tallo yang kemudian salah seorang turunannya adalah wanita kawin dengan salah seeorang putera Raja Bone. Dari hasil perkawinan itulah yang kemudian melahirkan enam orang putera dan satu orang puteri. Akan tetapi puterinyalah yang menggantikan ibunya menduduki tahta kerajaan di Turungeng. Adapun keenam puteranya ditebarkan ke wilayah lain sehingga ada yang bermukim di Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka, Bala Suka dan masing-masing berusaha membentuk wilayah kekuasaan.
Dari keturunan Puatta Timpae’ Tanaatau To Pasaja inilah yang berhasil membentuk kerajaan dalam wilayah dekat pantai yang dikenal dengan kerajaan Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti.
Untuk memelihara hubungan dan keutuhan wilayah kerajaan yang bersumber dari satu keturunan, maka muncullah gagasan dari I Topacebba (anak dari La Padenring)  yang digelar Lamassiajingeng(Raja Lamatti ke-X) berupaya mempererat hubungan Lamatti dengan Bulo-Bulo atas dasar semboyan “PASIJAI SINGKERUNNA LAMATTI BULO-BULO  artinya satukan keyakinan / kekuatan Lamatti dengan Bulo-Bulo.
Penggagas dalam memelihara persatuan Lamatti dan Bulo-Bulo saat meninggalnya digelar  “PUATTA MATINROE’ RISIJAINNA.

Sinjai dalam ungkapan bahasa Bugisbermakna satu jahitanSinjai artinyabersatu dalam jahitan. Dari istilah sijaimenjadi sinjai, merupakan suatu simbol dalam mempererat hubungan kekeluargaan, menurut bahasa Bugis.

Dari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan yang ada, muncul pemikiran baru tentang perlunya memperkuat persatuan dan kesatuan dalam memelihara dan melindungi kerajaan yang ada, maka dibentuklah kelompok gabungan kerajaan yang berbentuk federasi yang dikenal dengan :

1.      TELLU LIMPOE’, merupakan persekutuan kerajaan yang berdekatan dengan pantai, yaitu Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti.

2.      PITU LIMPOE’, merupakan persekutuan kerajaan yang berlokasi di daerah dataran tinggi , yaitu kerajaan Turungeng, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka, Balasuka.

Federasi kerajaan Tellu Limpoe’ danPitu Limpoe’ merupakan dua kekuatan yang akan membendung arus ekspansi dari barat dan selatan, juga merupakan kekuatan pertahanan untuk membendung arus ekspansi dari utara dan penyelamatan garis pantai.

Secara geografis, wilayah Sinjaimenempati posisi strategis karena berada pada kawasan pantai dan pegunungan yang merupakan lintas batas kerajaan Gowa dan Bone.

Antara kerajaan Gowa dan Bonesenantiasa bersaing dalam merebut pengaruh terhadap kerajaan tetangga sehingga wilayah Sinjai merupakan wilayah yang diincer oleh kedua kerajaan tersebut.

            Untuk mempertahankan wilayah garis pantai, raja-raja Tellu Limpoe’  (Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo)bersepakat mendirikan benteng pertahanan di Balangnipa pada tahun 1557 dan diberi nama benteng Tellu Limpoe’ atau Benteng Balangnipa.

            Melihat kondisi perkembanagan gerakan kedua kerajaan tersebut (Gowa dan Bone), maka kerajaan-kerajaan kecil yang dalam wilayah Sinjai menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang berstatus federasi yang terbentuk menjadi dua kekuatan yang tidak dapat dipisahkan dalam membendung pengaruh dari dua kerajaan besar.

            Upaya pembentukan dua kekuatan pertahanan, yaitu Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’ mengadakan kesepakatan untuk mempertahankan wilayahnya daripengaruh ekspansi Gowa dan Bone.

            Oleh karena raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai merasa dirinya sebagai satu sumber keturunan sehingga kedua kekuatan tersebut  (Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’) menempuh jalan yang arif dengan bersikap netral menghadapi kedua kerajaan tersebut. Sikap netral itulah sehingga menjadikan dirinya sebagai mediator untuk melakukan perdamaian antara Gowa dan Bone. Untuk itu maka  Tellu Limpoe’ maupun Pitu Limpoe’  tidak melakukan pemihakan dalam menghadapi kedua kerajaan tersebut sehingga berhasil mempertemukan kedua kerajaan yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh. Dengan demikian maka digagaslah suatu perundingan untuk perdamaian sehingga pada bulan Februari 1564 Raja Bulo-Bulo ke-VI La Mappasoko Lao Manoe’ Tanru’naberhasil mempertemukan kedua kerajaan yang bertikai.

            Dalam perundingan, kerajaan  Gowadiwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMETTA dan kerajaan Bone diwakili olehLATENRI RAWE BAONGKANGE yang disaksikan oleh raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai, yaitu Raja La Padenring (Raja Lamatti ke-VIII (bergelar Arung Mapali’e, suami I Daommo alias Mabbissuneng Eppa’e Arung Bulo-Bulo),  Iyottong Daeng Marumpa Raja Tondong, dan La Mappasoko Lao Manoe’ Tanrunna mewakili Raja Bulo-Bulo.

            Pertemuan antara Raja Bone dan Raja Gowa diadakan di Topekkong Kalaka Sinjai kira-kira 3 km dari pusat kota Sinjai (Balangnipa) dan berhasil melahirkan kesepakatan yang dikenal denganPERJANJIAN TOPEKKONG yang ditandai dengan LAMUNG PATUE’ RI TOPEKKONG (Penanaman batu besar).

           Lamung Patue’ merupakan simbol, bahwa bagian batu yang tertanam dimaksudkan sebagai simbol penguburan sikap keras yang dapat merugikan semua pihak. Batu yang muncul dipermukaan tanah, merupakan simbol persatuan yang tak tergoyahkan.

Perjanjian Topekkong

MADDUMME TO SIPALALO

saling mengizinkan mencari tempat bernaung

MABBELLE TO SIPASORO

saling memberi keuntungan dalam menangkap ikan

SEDDI PABBANUA PADA RIAPPUNNAI

satu penduduk kita miliki bersama

LEMPA ASEPA MAPPANNESSA

pikulan padi yang menentukan, kemanapadinya dibawa disitulah pilihannya

MUSUNNA GOWA MUSUNNA TO BONE NA TELLU LIMPOE’, MAKKUTOPI

ASSIBALINNA

musuh Gowa, juga musuh Bone dan Tellu Limpoe’, begitu pula sebaliknya

SISAPPARENG DECENG, TENG SISAPPARENG JA

saling mencari kebaikan, tidak saling mencari kejelekan (kekurangan)

SIRUI MENRE TE SIRUI NO

saling menaikkan, tidak saling menjatuhkan (menurunkan)

MALILU SIPAKAINGE, MALI SIPARAPPE

saling mengingatkan, salingmenyelematkan

Oleh karena raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai konsisten terhadapperjanjian Topekkong sehingga pada saatorang Belanda mendatangi dan membujukkerajaan Bulo-Bulo  untuk memerangikerajaan Gowa sebagai upaya untuk memecah belah kerajaan yang ada di wilayah Sulawesi Selatan sehingga puncak upaya Belanda untuk memecah belah terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Belanda pada 29 Februari 1636 M. / 22 Ramadhan 1057 H.

Pada tahun 1824 Gubernur Jenderal Van Der Capellen datang dari Batavia membujuk I Cella Arung Bulo-Bulo XXIuntuk menerima perjanjian Bongaya, dan mengizinkan Belanda mendirikan loji ( Kantor Perdagangan) di Lappa. Tetapi dengan tegas ditolak, sehingga pada saat itu orang Belanda mengadakan penyerangan di bawah pimpinan Van Der Capellen, sedangkan pasukan kerajaan Tellu Limpoe’dipimpin oleh La Mandasini (Puatta Mapute Isinna) sebagai Dulung (Panglima) Tellu Limpoe’dan Baso Kalaka yang berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Ketika itu I Mappajaji alias I May Dg. Sisila anak dari I Mappakana arung Bulo-Bulo sebagaiArung Lamatti ke-30.

            Pada tahun 1859 pasukan Belanda kembali mengadakan serangan besar-besaran melalui laut dan darat yang dipimpin oleh Jenderal Van Swiaten. Oleh karena kekuatan tidak berimbang akhirnyaSinjai direbut oleh Belanda . Dengan demikian maka pada 15 Nopember 1861 Gubernur Sulawesi menetapkan daerah taklukannya Tellu Limpoe’ dijadikan wilayah pemerintahan dengan sebutanGester Districten. Oleh karena pasukan Belanda telah menaklukkan kerajaan Tellu Limpoe’ maka Belanda berusaha mengadakan pemugaran benteng Tellu Limpoe’ pada tahun 1864 - 1868 kemudian dijadikan markas pertahanan, sekaligus sebagai tempat tahanan (bekasnya sudah tidak ada) dikenal dengan kandang macan.

             Oleh karena Balangnipa pernah dilanda banjir sehingga benteng Balangnipa kemasukan air, maka Belanda berusaha memindahkan tahanan di Balobboro dalam bentuk kandang macan beberapa buah yang tidak beratap. Adapun bekas tahanan di balobboro penulis masih dapat melihat sekitar tahun 1969, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi, bahkan sudah menjadi pemukiman penduduk.

Jadi untuk membuktikan kekejaman kolonial terhadap pribumi sudah mengalami kesulitan karena bukti yang menjadi saksi sejarah sudah tiada.

Pada 24 Februari 1940 Gubernur Grote Gost menetapkan pembagian wilayah administrasi untuk daerah timur besar termasuk Residensi Celebes di mana daerah Sinjai bersama dengan beberapa daerah lainnya berstatus Onther Afdelingdalam wilayah Afdeling Bonthain. Sedangkan Onther Afdeling  Sinjai dibagi atas beberapa Adats Gemencap, yaitu :Cost Bulo-Bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Manipi dan Turungeng.

             Pada masa pendudukan Jepang, struktur pemerintahan ditata kembali sesuai kebutuhan bala tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng.

             Perjuangan pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan semakin tinggi sehingga pemuda-pemuda membentuk organisasi SUDARA (Sumber Darah Rakyat) yang disponsori oleh Abd. Razak SimarajaleloKRIS MUDA (Kebaktian Rakyat Islam Muda) dan lain-lain.

            Oleh karena  posisi Sinjai merupakan daerah yang strategis dan ditopang oleh semangat juang yang tinggi sehingga sebagian pemuda yang akan ikut berjuang di Jawa menjadikan daerah pantai Sinjaisebagai tempat transit ke Jawa, demikian pula yang berasal dari Jawa.

            Kondisi masyarakat Sinjai sangat antusias menyambut dan mempertahankan kemerdekaan sehingga para pejuang tidak henti-hentinya mengadakan konsolidasi dan koordinasi untuk mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh M. Syurkati Said, M. Yahya Mathan, M. Sultan Isma, M. Dahlan Isma, A. M. Saleh, Abdul Hai, M. Sattar, Mukmin dan lain-lain yang mendapat dukungan rakyat Sinjai, kecuali yang merasa ada hubungan denganBelanda.

Kemerdekaan Negara Indonesia diproklamirkan dalam sebuah Proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Soekarno dan Hatta. Atas dasar itu maka berakhirlah kekuasaan Jepang di Indonesia dan menyerahkan kedaulatan itu kepada bangsa Indonesia untuk mengatur pemerintahannya sehingga sturktur pemerintahan di Sinjai masih tetap berada di bawah Daerah Swatantra Tingkat II Bonthain yang membawahi Bonthain sendiri, Sinjai, Bulukumba, dan Selayar dengan status Kewedanaan.

          Pemerintah Jepang di Makassar mengirim Abd. Razak Simarajalelo (orang Sumatera) ke Sinjai (seorang pejuang yang berada di Makassar) untuk menerima penyerahan pemerintahan di Sinjai. Setelah itu, Abd. Razak  Simarajalelo melanjutkan penyerahan.  Pemerintahan di Sinjaikepada H. A. Mappatoba (Arung Bulo-Bulo Timur) maka resmilah Pemerintahan diSinjai dipegang oleh bangsa Indonesia pada 19 Agustus 1945.

H. A. Mappatoba menjadi Kepala Pemerintahan R. I. (KPRI) Dalam bentuk Kewedanaan Di Sinjai dengan membawahi  Distrik Lamatti, Bikeru, Manimpahoi, dan Manipi.       

            Dalam perjalanan pemerintahan KPRI terjadi perubahan istilah pemerintahan menjadi Kepala Pemerintahan Negeri (KPN), pada masa ini pemerintahan dipegang oleh Abd. Razak Dg. Patunru (orang Bulukumba), kemudian beralih kepada Ahmad Marsuki Dg. Marala (Ayah Laica Marsuki SH.). Selanjutnya pemerintahan beralih kepadaPuatta Indar (Sinjai), kemudian beralih kepada Laode Hibali (orang Buton) pada tahun 1955. Selanjutnya kepala pemerintahan beralih kepada A. Attas (orang Bone), kemudian pindah kepada A. Jamuddin ( orang Bone), kemudian pindah kepada Bustan (Mantan Kepala Daerah Wajo). Pada saat ini berakhirlah istilah Kewedanaan dan Distrik diubah menjadiDaerah Swatantra Tingkat II Sinjai (Daswati II Sinjai), dan Distrik diubah menjadi Kecamatan sehingga Kepala Pemerintahan menjadi Kepala Daerah danCamat pada tahun 1959. Dari Daswati diubah lagi menjadi Dati II Kabupaten Sinjai dan kepala pemerintahannya bergelar Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Sinjai.  Istilah Dati II Kabupaten Sinjai berubah menjadi Kabupaten Sinjaidan kepala pemerintahannya bergelarBupati Sinjai.

             Perubahan sistem pemerintahan tersebut terjadi karena berdasarkan UURI. No. 29 Tahun 1959 yang mengatur pemerintahan dan pemekaran serta pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II.  Atas dasar UURI tersebut Sinjaiditingkatkan statusnya dari Kewedanaan di bawah naungan Bonthain sehingga pada 29 Oktober 1959 Sinjai resmi menjadi Daerah SwatantraTingkat II Sinjai yang dipimpin oleh Mayor A. Abd. Latief sebagai Kepala Daerah yang pertama dan dilantik pada 27 Februari 1960.  Jadi secara dejure Sinjaibaru memasuki umur 46 tahun.

           Setelah perang mempertahankan kemerdekaan usai, maka kekuasaan berada di tangan bangsa Indonesia masih dalam suasana transisi.  Untuk itu,  struktur pemerintahan yang ada masih tetap dipertahankan sehingga pemerintahanSinjai yang berstatus Kewedanaan dan berada dalam naungan Daerah Swatantra Bonthain seperti halnya Bonthain sendiri,Bukukumba dan Selayar.

          Oleh karena Sinjai berada di bawahpemerintahan Daerah Swantantra Bonthainmaka yang mewakili Kewedanaan Sinjaisebagai anggota DPR ialah St. Marwah Sulaiman dan M. Syurkati Said, dan A. Muh. Saleh. Konon wakil dari kewedanaanSinjai cukup berpengaruh, karena St. Marwah Sulaiman dalam sejarahnya pernah membubarkan rapat DPR Bonthain karena terjadi perbedaan prinsip.