Kabupaten Sinjai berdasarkan penelusuran sejarah, dimulai dari pemukiman pertama di Wawo Bulu Manipi Kecamatan Sinjai Barat di sebelah timur Malino dipimpin oleh orang yang digelar Puatta Timpae’ Tana atau To Pasaja yaitu Arung Manurung Tanralili.
Keturunan Arung Tanralili, salah seorang diantaranya adalah wanita yang kemudian puteri Tanralili inilah yang mengembangkan wilayah Wawo Bulumenjadi Kerajaan Turungeng.
Raja wanita tersebut diperisterikan oleh putera Raja Tallo yang kemudian salah seorang turunannya adalah wanita kawin dengan salah seeorang putera Raja Bone. Dari hasil perkawinan itulah yang kemudian melahirkan enam orang putera dan satu orang puteri. Akan tetapi puterinyalah yang menggantikan ibunya menduduki tahta kerajaan di Turungeng. Adapun keenam puteranya ditebarkan ke wilayah lain sehingga ada yang bermukim di Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka, Bala Suka dan masing-masing berusaha membentuk wilayah kekuasaan.
Dari keturunan Puatta Timpae’ Tanaatau To Pasaja inilah yang berhasil membentuk kerajaan dalam wilayah dekat pantai yang dikenal dengan kerajaan Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti.
Untuk memelihara hubungan dan keutuhan wilayah kerajaan yang bersumber dari satu keturunan, maka muncullah gagasan dari I Topacebba (anak dari La Padenring) yang digelar Lamassiajingeng(Raja Lamatti ke-X) berupaya mempererat hubungan Lamatti dengan Bulo-Bulo atas dasar semboyan “PASIJAI SINGKERUNNA LAMATTI BULO-BULO” artinya satukan keyakinan / kekuatan Lamatti dengan Bulo-Bulo.
Penggagas dalam memelihara persatuan Lamatti dan Bulo-Bulo saat meninggalnya digelar “PUATTA MATINROE’ RISIJAINNA”.
Sinjai dalam ungkapan bahasa Bugisbermakna satu jahitan. Sinjai artinyabersatu dalam jahitan. Dari istilah sijaimenjadi sinjai, merupakan suatu simbol dalam mempererat hubungan kekeluargaan, menurut bahasa Bugis.
Dari pertumbuhan dan perkembangan kerajaan yang ada, muncul pemikiran baru tentang perlunya memperkuat persatuan dan kesatuan dalam memelihara dan melindungi kerajaan yang ada, maka dibentuklah kelompok gabungan kerajaan yang berbentuk federasi yang dikenal dengan :
1. TELLU LIMPOE’, merupakan persekutuan kerajaan yang berdekatan dengan pantai, yaitu Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti.
2. PITU LIMPOE’, merupakan persekutuan kerajaan yang berlokasi di daerah dataran tinggi , yaitu kerajaan Turungeng, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka, Balasuka.
Federasi kerajaan Tellu Limpoe’ danPitu Limpoe’ merupakan dua kekuatan yang akan membendung arus ekspansi dari barat dan selatan, juga merupakan kekuatan pertahanan untuk membendung arus ekspansi dari utara dan penyelamatan garis pantai.
Secara geografis, wilayah Sinjaimenempati posisi strategis karena berada pada kawasan pantai dan pegunungan yang merupakan lintas batas kerajaan Gowa dan Bone.
Antara kerajaan Gowa dan Bonesenantiasa bersaing dalam merebut pengaruh terhadap kerajaan tetangga sehingga wilayah Sinjai merupakan wilayah yang diincer oleh kedua kerajaan tersebut.
Untuk mempertahankan wilayah garis pantai, raja-raja Tellu Limpoe’ (Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo)bersepakat mendirikan benteng pertahanan di Balangnipa pada tahun 1557 dan diberi nama benteng Tellu Limpoe’ atau Benteng Balangnipa.
Melihat kondisi perkembanagan gerakan kedua kerajaan tersebut (Gowa dan Bone), maka kerajaan-kerajaan kecil yang dalam wilayah Sinjai menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang berstatus federasi yang terbentuk menjadi dua kekuatan yang tidak dapat dipisahkan dalam membendung pengaruh dari dua kerajaan besar.
Upaya pembentukan dua kekuatan pertahanan, yaitu Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’ mengadakan kesepakatan untuk mempertahankan wilayahnya daripengaruh ekspansi Gowa dan Bone.
Oleh karena raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai merasa dirinya sebagai satu sumber keturunan sehingga kedua kekuatan tersebut (Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’) menempuh jalan yang arif dengan bersikap netral menghadapi kedua kerajaan tersebut. Sikap netral itulah sehingga menjadikan dirinya sebagai mediator untuk melakukan perdamaian antara Gowa dan Bone. Untuk itu maka Tellu Limpoe’ maupun Pitu Limpoe’ tidak melakukan pemihakan dalam menghadapi kedua kerajaan tersebut sehingga berhasil mempertemukan kedua kerajaan yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh. Dengan demikian maka digagaslah suatu perundingan untuk perdamaian sehingga pada bulan Februari 1564 Raja Bulo-Bulo ke-VI La Mappasoko Lao Manoe’ Tanru’naberhasil mempertemukan kedua kerajaan yang bertikai.
Dalam perundingan, kerajaan Gowadiwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMETTA dan kerajaan Bone diwakili olehLATENRI RAWE BAONGKANGE yang disaksikan oleh raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai, yaitu Raja La Padenring (Raja Lamatti ke-VIII (bergelar Arung Mapali’e, suami I Daommo alias Mabbissuneng Eppa’e Arung Bulo-Bulo), Iyottong Daeng Marumpa Raja Tondong, dan La Mappasoko Lao Manoe’ Tanrunna mewakili Raja Bulo-Bulo.
Pertemuan antara Raja Bone dan Raja Gowa diadakan di Topekkong Kalaka Sinjai kira-kira 3 km dari pusat kota Sinjai (Balangnipa) dan berhasil melahirkan kesepakatan yang dikenal denganPERJANJIAN TOPEKKONG yang ditandai dengan LAMUNG PATUE’ RI TOPEKKONG (Penanaman batu besar).
Lamung Patue’ merupakan simbol, bahwa bagian batu yang tertanam dimaksudkan sebagai simbol penguburan sikap keras yang dapat merugikan semua pihak. Batu yang muncul dipermukaan tanah, merupakan simbol persatuan yang tak tergoyahkan.
Perjanjian Topekkong
MADDUMME TO SIPALALO
saling mengizinkan mencari tempat bernaung
MABBELLE TO SIPASORO
saling memberi keuntungan dalam menangkap ikan
SEDDI PABBANUA PADA RIAPPUNNAI
satu penduduk kita miliki bersama
LEMPA ASEPA MAPPANNESSA
pikulan padi yang menentukan, kemanapadinya dibawa disitulah pilihannya
MUSUNNA GOWA MUSUNNA TO BONE NA TELLU LIMPOE’, MAKKUTOPI
ASSIBALINNA
musuh Gowa, juga musuh Bone dan Tellu Limpoe’, begitu pula sebaliknya
SISAPPARENG DECENG, TENG SISAPPARENG JA
saling mencari kebaikan, tidak saling mencari kejelekan (kekurangan)
SIRUI MENRE TE SIRUI NO
saling menaikkan, tidak saling menjatuhkan (menurunkan)
MALILU SIPAKAINGE, MALI SIPARAPPE
saling mengingatkan, salingmenyelematkan
Oleh karena raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai konsisten terhadapperjanjian Topekkong sehingga pada saatorang Belanda mendatangi dan membujukkerajaan Bulo-Bulo untuk memerangikerajaan Gowa sebagai upaya untuk memecah belah kerajaan yang ada di wilayah Sulawesi Selatan sehingga puncak upaya Belanda untuk memecah belah terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Belanda pada 29 Februari 1636 M. / 22 Ramadhan 1057 H.
Pada tahun 1824 Gubernur Jenderal Van Der Capellen datang dari Batavia membujuk I Cella Arung Bulo-Bulo XXIuntuk menerima perjanjian Bongaya, dan mengizinkan Belanda mendirikan loji ( Kantor Perdagangan) di Lappa. Tetapi dengan tegas ditolak, sehingga pada saat itu orang Belanda mengadakan penyerangan di bawah pimpinan Van Der Capellen, sedangkan pasukan kerajaan Tellu Limpoe’dipimpin oleh La Mandasini (Puatta Mapute Isinna) sebagai Dulung (Panglima) Tellu Limpoe’dan Baso Kalaka yang berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Ketika itu I Mappajaji alias I May Dg. Sisila anak dari I Mappakana arung Bulo-Bulo sebagaiArung Lamatti ke-30.
Pada tahun 1859 pasukan Belanda kembali mengadakan serangan besar-besaran melalui laut dan darat yang dipimpin oleh Jenderal Van Swiaten. Oleh karena kekuatan tidak berimbang akhirnyaSinjai direbut oleh Belanda . Dengan demikian maka pada 15 Nopember 1861 Gubernur Sulawesi menetapkan daerah taklukannya Tellu Limpoe’ dijadikan wilayah pemerintahan dengan sebutanGester Districten. Oleh karena pasukan Belanda telah menaklukkan kerajaan Tellu Limpoe’ maka Belanda berusaha mengadakan pemugaran benteng Tellu Limpoe’ pada tahun 1864 - 1868 kemudian dijadikan markas pertahanan, sekaligus sebagai tempat tahanan (bekasnya sudah tidak ada) dikenal dengan kandang macan.
Oleh karena Balangnipa pernah dilanda banjir sehingga benteng Balangnipa kemasukan air, maka Belanda berusaha memindahkan tahanan di Balobboro dalam bentuk kandang macan beberapa buah yang tidak beratap. Adapun bekas tahanan di balobboro penulis masih dapat melihat sekitar tahun 1969, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi, bahkan sudah menjadi pemukiman penduduk.
Jadi untuk membuktikan kekejaman kolonial terhadap pribumi sudah mengalami kesulitan karena bukti yang menjadi saksi sejarah sudah tiada.
Pada 24 Februari 1940 Gubernur Grote Gost menetapkan pembagian wilayah administrasi untuk daerah timur besar termasuk Residensi Celebes di mana daerah Sinjai bersama dengan beberapa daerah lainnya berstatus Onther Afdelingdalam wilayah Afdeling Bonthain. Sedangkan Onther Afdeling Sinjai dibagi atas beberapa Adats Gemencap, yaitu :Cost Bulo-Bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Manipi dan Turungeng.
Pada masa pendudukan Jepang, struktur pemerintahan ditata kembali sesuai kebutuhan bala tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng.
Perjuangan pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan semakin tinggi sehingga pemuda-pemuda membentuk organisasi SUDARA (Sumber Darah Rakyat) yang disponsori oleh Abd. Razak Simarajalelo, KRIS MUDA (Kebaktian Rakyat Islam Muda) dan lain-lain.
Oleh karena posisi Sinjai merupakan daerah yang strategis dan ditopang oleh semangat juang yang tinggi sehingga sebagian pemuda yang akan ikut berjuang di Jawa menjadikan daerah pantai Sinjaisebagai tempat transit ke Jawa, demikian pula yang berasal dari Jawa.
Kondisi masyarakat Sinjai sangat antusias menyambut dan mempertahankan kemerdekaan sehingga para pejuang tidak henti-hentinya mengadakan konsolidasi dan koordinasi untuk mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh M. Syurkati Said, M. Yahya Mathan, M. Sultan Isma, M. Dahlan Isma, A. M. Saleh, Abdul Hai, M. Sattar, Mukmin dan lain-lain yang mendapat dukungan rakyat Sinjai, kecuali yang merasa ada hubungan denganBelanda.
Kemerdekaan Negara Indonesia diproklamirkan dalam sebuah Proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Soekarno dan Hatta. Atas dasar itu maka berakhirlah kekuasaan Jepang di Indonesia dan menyerahkan kedaulatan itu kepada bangsa Indonesia untuk mengatur pemerintahannya sehingga sturktur pemerintahan di Sinjai masih tetap berada di bawah Daerah Swatantra Tingkat II Bonthain yang membawahi Bonthain sendiri, Sinjai, Bulukumba, dan Selayar dengan status Kewedanaan.
Pemerintah Jepang di Makassar mengirim Abd. Razak Simarajalelo (orang Sumatera) ke Sinjai (seorang pejuang yang berada di Makassar) untuk menerima penyerahan pemerintahan di Sinjai. Setelah itu, Abd. Razak Simarajalelo melanjutkan penyerahan. Pemerintahan di Sinjaikepada H. A. Mappatoba (Arung Bulo-Bulo Timur) maka resmilah Pemerintahan diSinjai dipegang oleh bangsa Indonesia pada 19 Agustus 1945.
H. A. Mappatoba menjadi Kepala Pemerintahan R. I. (KPRI) Dalam bentuk Kewedanaan Di Sinjai dengan membawahi Distrik Lamatti, Bikeru, Manimpahoi, dan Manipi.
Dalam perjalanan pemerintahan KPRI terjadi perubahan istilah pemerintahan menjadi Kepala Pemerintahan Negeri (KPN), pada masa ini pemerintahan dipegang oleh Abd. Razak Dg. Patunru (orang Bulukumba), kemudian beralih kepada Ahmad Marsuki Dg. Marala (Ayah Laica Marsuki SH.). Selanjutnya pemerintahan beralih kepadaPuatta Indar (Sinjai), kemudian beralih kepada Laode Hibali (orang Buton) pada tahun 1955. Selanjutnya kepala pemerintahan beralih kepada A. Attas (orang Bone), kemudian pindah kepada A. Jamuddin ( orang Bone), kemudian pindah kepada Bustan (Mantan Kepala Daerah Wajo). Pada saat ini berakhirlah istilah Kewedanaan dan Distrik diubah menjadiDaerah Swatantra Tingkat II Sinjai (Daswati II Sinjai), dan Distrik diubah menjadi Kecamatan sehingga Kepala Pemerintahan menjadi Kepala Daerah danCamat pada tahun 1959. Dari Daswati diubah lagi menjadi Dati II Kabupaten Sinjai dan kepala pemerintahannya bergelar Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Sinjai. Istilah Dati II Kabupaten Sinjai berubah menjadi Kabupaten Sinjaidan kepala pemerintahannya bergelarBupati Sinjai.
Perubahan sistem pemerintahan tersebut terjadi karena berdasarkan UURI. No. 29 Tahun 1959 yang mengatur pemerintahan dan pemekaran serta pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II. Atas dasar UURI tersebut Sinjaiditingkatkan statusnya dari Kewedanaan di bawah naungan Bonthain sehingga pada 29 Oktober 1959 Sinjai resmi menjadi Daerah SwatantraTingkat II Sinjai yang dipimpin oleh Mayor A. Abd. Latief sebagai Kepala Daerah yang pertama dan dilantik pada 27 Februari 1960. Jadi secara dejure Sinjaibaru memasuki umur 46 tahun.
Setelah perang mempertahankan kemerdekaan usai, maka kekuasaan berada di tangan bangsa Indonesia masih dalam suasana transisi. Untuk itu, struktur pemerintahan yang ada masih tetap dipertahankan sehingga pemerintahanSinjai yang berstatus Kewedanaan dan berada dalam naungan Daerah Swatantra Bonthain seperti halnya Bonthain sendiri,Bukukumba dan Selayar.
Oleh karena Sinjai berada di bawahpemerintahan Daerah Swantantra Bonthainmaka yang mewakili Kewedanaan Sinjaisebagai anggota DPR ialah St. Marwah Sulaiman dan M. Syurkati Said, dan A. Muh. Saleh. Konon wakil dari kewedanaanSinjai cukup berpengaruh, karena St. Marwah Sulaiman dalam sejarahnya pernah membubarkan rapat DPR Bonthain karena terjadi perbedaan prinsip.